Rabu, 18 Maret 2009

Minggu Pagi = Sepeda Hijau + Bakso Keju


Minggu kemarin, seorang teman (baca = Ahel) mengajakku bersepeda hijau. Mengingat banyaknya lemak yang sudah menumpuk di sekeliling perut, aku menyetujui ajakannya. Kami berangkat menuju UGM sekitar pukul 7. Sampai di kampus (baca = Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM), langsung saja kami pinjam sepeda yang ada di sana. Sayangnya saat itu hanya ada satu sepeda yang bisa dipakai. Akhirnya, Ahel-lah yang meminjam sepeda itu karena saat itu dia tidak membawa KTM. Instead of KTM, Ahel menggunakan kartu perpustakaan FEB yang belum diperpanjang sebagai jaminan (untung saja Pak Satpam tidak terlalu memperhatikan). Aku sendiri akhirnya meminjam sepeda di Fakultas Pertanian. Bersepeda pun dimulai. Dengan rute acak sesuai kehendak hati, kami berkeliling wilayah GSP dan Bulaksumur.

Manfaat bersepeda amat banyak, seperti memperkuat berbagai otot paha dan betis, mengurangi stres, dan membantu memperkuat punggung. Satu jam bersepeda dapat membakar 250 hingga 700 kalori, tergantung dari intensitas latihan. Bersepeda dengan rutin memberikan banyak manfaat untuk tubuh, seperti mengurangi kelebihan berat badan yang Anda miliki, memperbaiki sistem jantung dan sirkulasi darah. Beberapa penelitian membuktikan bahwa orang-orang yang rutin beraktivitas fisik memiliki risiko penyakit kardiovaskular lebih rendah dibanding dengan mereka yang tidak suka berolahraga. Bersepeda juga mampu meningkatkan kapasitas paru-paru. Bersepeda secara rutin selama 30 menit per hari dapat melindungi wanita dari operasi batu empedu. Selain itu, bersepeda secara teratur dapat mencegah atau menunda munculnya tekanan darah tinggi.
(http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008040513380125)

Baru 30 menit bersepeda kami melihat gerobak Bakso Keju di depan sebuah kos-kosan (yang ternyata adalah kos teman kami, Heyfon). Karena belum pernah mencicipi bakso keju, akhirnya kami membeli seplastik bakso keju yang rencananya akan kami makan sesampainya di kos.



Ternyata tidak hanya bakso keju yang dijual tetapi ada juga bakso yang berisi jagung, daging asap, coklat, lecy, mente, anggur dan pedas. Sangat inovatif. Sayangnya, harga yang ditawarkan cukup mahal. Kita harus membayar Rp 9.000,- untuk semangkuk bakso berisi mi kuning, mi putih, 1 bakso keju, 1 bakso daging asap, 1 siomay, dan 1 bakso udang (harga per item bakso/mi tersebut adalah Rp 1.500,00).

Perjalanan pun kami lanjutkan ke arah Lembah UGM dan UNY. Dari UNY kami melanjutkan perjalanan ke rumah Bit2. Sesampainya di sana, kami ditawari untuk ikut sarapan tetapi karena sudah membeli bakso keju akhirnya kami pun memakan bakso keju kami. Rasanya enak, tetapi ukuran isinya terlalu kecil sehingga tidak begitu terasa.



Setelah puas makan dan mengobrol kami melanjutkan perjalanan kembali ke UGM sebelum akhirnya menyudahi olahraga minggu pagi kami. Sesampainya di kos, benda pertama yang langsung dituju Ahel adalah timbangan badan. 'Ning, kok berat badanku malah naik setengah kilo ya?'. Hahaha...tampaknya jumlah kalori yang terbakar dengan bersepeda masih lebih sedikit daripada kalori yang kami dapat dari bakso keju. Tetapi, bagaimanapun juga, olahraga di pagi hari membuat tubuh kita lebih segar. Jadi...'Ayo minggu depan pit-pitan lagi!!!!'.

'Si Hijau' yang menemani minggu pagiku

Senin, 16 Maret 2009

Sunset @ Candi Ratu Boko (Mengejar Matahari Part II)


Awalnya sama sekali tidak ada rencana melihat sunset di Candi Ratu Boko pada Sabtu sore kemarin. Tiba-tiba saja Indah mengajakku dan beberapa teman untuk pergi ke Pantai Depok. Kebetulan saat itu kami memang sedang luang. Kami mencoba mengajak beberapa orang. Namun, sayangya usaha kami gagal. ‘Sudah pernah kesana’, begitu alasan sebagian besar orang yang kami ajak. Akhirnya hanya kami berdua saja yang berniat pergi. Benar juga sih, kami memang sudah beberapa kali pergi ke sana. Melihat langit yang sore itu sangat cerah, tiba-tiba saja kami teringat rencana kami dulu untuk pergi melihat sunset di Candi Ratu Boko. Akhirnya kami pun mengubah tujuan kami ke Candi Ratu Boko.


Setelah mendapat pinjaman kamera digital, kami memulai perjalanan menuju Candi Boko dengan mengendarai sepeda motor. Perjalanan menuju Candi Boko menghabiskan waktu sekitar 45 menit. Candi Boko terletak di sebuah bukit, 3 km di sebelah selatan Candi Prambanan. Harga tiket masuk per orang adalah Rp 10.000,00 sementara biaya parkir motor adalah Rp 2.000,00. Saat kami datang sore itu suasana tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang sedang hunting foto. Dari atas bukit yang terletak pada ketinggian hamper 200m dpl tersebut terhampar pemandangan kota Jogja serta candi Prambanan yang sangat indah dengan berlatarkan gagahnya Gunung Merapi.


Nama ‘Ratu Boko’ berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu Boko (yang secara harafiah berarti “raja bangau”) adalah ayah dari Loro Jonggrang. Situs ini diperkirakan telah dipergunakan orang pada awal abad ke-8 pada masa Wangsa Sailendra. Di dalam kompleks ini terdapat bekas gapura, ruang Paseban, kolam, Pendopo, Pringgitan, keputren, dan dua ceruk gua untuk bermeditasi. (id.wikipedia.com)



Tempat terbaik untuk menikmati sunset adalah di atas candi tempat pembakaran. Di sinilah kami menikmati keindahan sunset. Langit yang sangat cerah sore itu menghasilkan sunset yang luar biasa indah. Perpaduan warna biru dan merah yang sangat menakjubkan. Malamnya dari rest area kita dapat melihat keindahan lampu kota Jogja dengan langit penuh bintang sebagai latar belakangnya.

Jumat, 13 Maret 2009

Random shoot


Hanya sekedar foto iseng-iseng yang diambil menggunakan kamera handphone dan kamera pocket...


Kebun Teh Tambi, Wonosobo



Pemandangan dari puncak Tangkuban Perahu




D'best place in the world
(Perum Citra Indah Blok B No.4, Medono, Pekalongan)


Langit sore Pantai Pasir Kencana, Pekalongan


Pepohonan Kaliurang


Anggrek Ibu



Cina – Eropa – Timur Tengah via Semarang

Liburan semester yang lalu aku menyempatkan diri jalan2 ke Semarang. Berangkat dari Pekalongan dengan kereta Kaligung dan sampai di Semarang pukul 19.30. Di sana aku menginap di kontrakan Kakakku. Dialah yang akan menemani perjalananku selama di Semarang.

Perjalanan baru aku mulai keesokan harinya. Tujuan pertama kami adalah Klenteng Sam Po Kong yang terletak di daerah Simongan, bagian barat kota Semarang. Menurut sejarahnya, dahulu klenteng ini adalah tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang Laksamana Tiongkok beragama Islam yang bernama Cheng Ho. Tempat ini lekat sekali dengan arsitektur Cina, sehingga kemudian orang-orang menganggapnya sebagai Klenteng.

Saat kami datang, suasana di klenteng tidak begitu ramai karena hari itu adalah hari Sabtu dan bukan saat liburan. Di sana masih terlihat beberapa hiasan sisa-sisa perayaan imlek satu minggu sebelumnya. Kami beruntung karena datang pada saat jam wisatawan. Klenteng ini digunakan sebagai tempat ibadah dan ziarah sehingga sangat dijaga kesakralannya. Jika tidak sedang jam wisatawan, klenteng tersebut tidak boleh dimasuki sehingga kita hanya bisa melihatnya dari luar. Jam wisatawannya pun sangat terbatas yaitu hanya sekitar 15 menit, 2 atau 3 kali dalam sehari. Kita juga dilarang memotret bagian dalam Klenteng dan hanya diijinkan untuk mengambil foto di bagian luar. Di Sam Po Kong ini saya sempat mengambil beberapa foto.


Puas mengambil gambar di Klenteng Sam Po Kong, kami melanjutkan perjalanan ke Kota Lama. Di tempat ini banyak sekali bangunan lama bergaya Belanda yang bisa ditemui. Tempat ini juga sering dijadikan sebagai spot pengambilan gambar baik untuk fotografi maupun film. Di tempat ini saya tidak menghabiskan waktu begitu lama karena saat itu langit mendung dan kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Masjid Agung. Berikut ini beberapa foto yang kami ambil di kota lama.

Perjalanan kami lanjutkan ke Masjid Agung Jawa Tengah. Tidak sulit untuk menemukan bangunan nan megah ini, meskipun kami belum pernah ke sana sebelumnya. Masjid ini terletak di Jalan Gajah. Sebelum berkeliling melihat-lihat, kami memutuskan untuk shalat dzuhur terlebih dahulu. Sempat bingung juga saat hendak shalat karena bangunan Masjid yang sangat besar. Selesai shalat kami mulai menjelajahi masjid. Puas menjelajah di bawah, kami memutuskan untuk naik ke menara masjid. Hanya dengan membayar Rp 5.000,- (yang dikembalikan dalam bentuk 5 buah marimas) kami bisa naik lift hingga lantai 20. Dari atas menara, kita bisa melihat bentuk Masjid Agung secara keseluruhan. Dari sini kita juga bisa melihat pemandangan kota Semarang hingga ke laut. Tidak seperti di bawah yang sangat terik di siang hari, angin di atas menara sangat kuat. Selesai dari menara kami turun ke lantai 2 untuk melihat museum. Museum ini berisi mengenai sejarah perkembangan Islam di Jawa Tengah, berbagai foto Masjid Agung yang tersebar di Jawa Tengah, Al Qur’an raksasa dan juga perkembangan proses pembangunan Masjid Agung itu sendiri.



Travelling a.k.a JalanJalan

Sebenarnya, aku bukanlah orang yang menyukai outdoor activity. Hobiku membaca buku dan nonton film. Jarang maen keluar rumah, apalagi pergi travelling. Hobi baru ini (baca: travelling a.k.a jalanjalan) mulai kulakoni sejak aku menjalani kehidupan sebagai seorang mahasiswa yang nge-kos di kamar berukuran 3x3 m2 .

Rutinitas kuliah yang menjenuhkan serta kamar yang sempit membuatku ingin mencari tempat pelarian untuk melepaskan diri dari sedikit kepenatan dan beban hidup. Akhirnya aku bertemu dengan mereka, sang petualang. Dari merekalah aku mulai mengenal dunia luar. Pergi ke tempat-tempat baru yang belum pernah aku kunjungi sebelumnya. Gunung, laut, museum, candi, serta berbagai tempat lainnya…

Travelling, baik sendiri maupun beramai-ramai, memiliki suatu kenikmatan tersendiri bagiku. Pergi ke tempat baru, mengenal kebudayaan baru, bertemu dengan orang-orang baru membuaku bisa melupakan sejenak kepenatan hidup, menikmati kebersamaan dengan orang-orang terdekat, menikmati kesendirian dalam ketenangan, mensyukuri segala anugrahNya, dan juga mengagumi semua ciptaanNya.

Kamis, 12 Maret 2009

Melihat Dari 2 Perspektif




Long weekend kemarin beberapa teman mengajakku pergi ke Suroloyo (Kulon Progo) untuk melihat Sunrise. Kkatanya kita bisa melihat sunrise yang bagus dan Borobudur dari Puncak Suroloyo. Awalnya aku sedikit enggan untuk ikut, karena itu berarti kami harus berangkat pagi-pagi buta dari Jogja (dan mengorbankan 4 jam waktu tidur).

Akan tetapi, setelah dipikir2, kehidupanku pasca suksesi kepengurusan benar-benar menjenuhkan…rutinitas yang hanya berkutat sekitar kuliah-kos sedikit banyak mulai membuatku bosan (mungkin ini yang disebut post power syndrome). Aku jenuh…ingin mencari kesibukan…melakukan sesuatu yang baru… Akhirnya dengan sedikit rayuan dan paksaan…aku mengikuti ajakan mereka.

Minggu, 8 Maret 2009 pukul 01.00 dini hari kami berkumpul di depan Els Komputer. Pertama kalinya dalam sejarah, kami bisa berkumpul in time (normalnya kami bisa ngaret sampai 1 jam). Pukul 02.00 perjalanan menuju Suroloyo dimulai. Setelah menempuh berkilo-kilo perjalanan, isi bensin, tambal ban (oh ya…ban motorku bocor dan harus diganti…untungnya masih ada tambal ban yang buka pukul 3 pagi), dan melewati berbagai tanjakan dan turunan yang curam, pukul 4.30 kami sampai di Suroloyo. Sampai sana masih ada 286 anak tangga yang harus didaki untuk sampai ke atas Puncak Suroloyo. Sangat melelahkan, apalagi bagiku yang memang tidak pernah berolahraga. Sampai di atas puncak masih gelap, kami memutuskan untuk menunggu sambil bergerombol menghangatkan diri di gubuk yang ada di sana, tidur-tiduran, makan kacang sukro, foto-foto…apapun yang bisa dilakukan untuk membunuh rasa dingin. 15 menit…30 menit…1 jam…1 ½ jam…masih putih…kabut sangat tebal, apalagi saat itu cuaca memang sedang mendung. Kami belum cukup beruntung untuk bisa melihat sunrise dan Borobudur. Salah perhitungan memang untuk pergi ke sana di musim hujan…

Jika akan melakukan perjalanan, buatlah perencanaan yang matang. Pastikan Anda tidak datang pada saat yang salah. Jika Anda ingin melihat sunrise/sunset pastikan anda tidak datang saat cuaca sedang mendung.

Akhirnya kami menyerah dan memutuskan untuk turun sekitar pukul 7.00. Perjalanan dilanjutkan untuk mencari sarapan. Setelah mengisi perut dengan nasi padang di Muntilan…kami melanjutkan perjalanan ke Borobudur. Sesampainya di Borobudur tempat pertama yang kami tuju adalah mushola, bukan untuk sholat dhuha, melainkan untuk tidur. Suasana sangat ramai karena hari itu adalah hari minggu dan long weekend, tampaknya banyak orang yang datang untuk berlibur ke sana. Setelah 1 jam beristirahat dan tidur2 ayam kami memutuskan untuk masuk ke dalam.


Saat akan membeli tiket, ada seorang bapak yang menawarkan tiket kepada kami seharga Rp 10.000 (harga normal Rp 15.000), katanya dia membeli terlalu banyak tiket. Kami membeli 6 tiket dari Bapak itu (Rp 60.000) dan 6 tiket dari loket (Rp 90.000). Dengan tiket di tangan, kami pun masuk ke dalam. Ternyata dari 12 tiket kami, hanya 4 tiket yang disobek. Sisanya (8 tiket) lolos dari penjagaan karena suasana saat itu sangat ramai. Akhirnya kami tahu mengapa Bapak tadi menjual tiket itu kepada kami dan menyisakan 1 tiket untuk dirinya.

Sesampainya di dalam area Candi kami tidak langsung naik ke Candi karena saat itu sangat ramai dan panas. Instead of naik ke Candi, kami berkeliling area Candi - piknik di bawah pohon menggunakan jas hujan sebagai alas duduk, foto-foto di taman, dan…mencoba mencari puncak Suroloyo. Finally…we think we found Suroloyo…ga begitu jelas memang…tapi kami rasa apa yang kami lihat di kejauhan adalah tempat yang kami datangi subuh itu.

Setelah agak mendung dan tidak begitu panas kami naik ke Candi Borobudur. Baru sampai di tingkat kedua hujan pun turun. Dengan bersenjatakan jas hujan motor (yang untungnya tidak kami tinggal di motor), kpendakian ke puncak Borobudur kami lanjutkan. Akan tetapi, perjalanan terhenti karena banyak orang yang berteduh di tangga. Akhirnya kami pun memutuskan untuk berteduh dulu sambil berfoto-foto menggunakan jas hujan. Setelah agak sepi, perjalanan ke puncak Borobudur kami lanjtkan. Sampai di atas hujan pun berhenti. Setelah puas berfoto-foto kami segera turun kembali.

Jangan pernah meninggalkan jas hujan di kendaraan Anda. Selain bisa digunakan sebagai pelindung hujan, jas hujan juga bisa digunakan sebagai alas duduk dan tenda darurat. Sangat bermanfaat ;).

Terinspirasi oleh tindakan si "Bapak Tiket", kami pun memutuskan untuk menjual 8 tiketyanglolosdaripemeriksaan tersebut. Selepas shalat dzuhur di mushola tempat kami tidur sebelumnya, beberapa teman pergi untuk menjual tiket tersebut. Menggunakan strategi yang sama dengan si “Bapak Tiket” kami pun berhasil menjual 8 tiket tersebut denga harga Rp 100.000 (4 tiket@Rp 10.000 dan 4 tiket@Rp 15.000).

Pukul 14.30 kami keluar dari Candi Borobudur dan mencari makan siang dengan uang hasil penjualan tiket tersebut. Kami sampai di Jogja sekitar pukul 16.30.


Sungguh perjalanan yang sangat melelahkan tetapi juga menyenangkan. Walaupun harus mengorbankan waktu tidurku untuk pergi berhujan-hujanan, gagal melihat sunrise dan Borobudur dari Suroloyo, kepanasan dan kehujanan di Borobudur, aku tidak menyesal sedikitpun telah menerima ajakan temanku untuk pergi.

Kapan lagi aku bisa touring di pagi buta? Isi bensin dan tambal ban jam 3 pagi?
Kapan lagi aku bisa shalat shubuh di puncak bukit dan menikmati kemistisan kabut yang pekat?
Kapan lagi aku bisa tidur di mushola Borobudur? Bermantel ria dan coba-coba jadi calo di Borobudur?

15 jam yang kuhabiskan bersama mereka sungguh merupakan pengalaman yang sangat unik dan tak terlupakan…
Walaupun kami tidak bisa melihat Borobudur dari Suroloyo, setidaknya kami bisa melihat Suroloyo dari Borobudur…
Walaupun gagal mengejar matahari dan hanya mendapatkan putih, ada hal yang jauh lebih berharga yang aku dapatkan dari perjalanan ini…
Kebersamaan…

Setiap kehidupan laksana dua sisi mata uang. Selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian….
Cobalah melihat sesuatu dari dua perspektif…maka akan kau temukan kebahagiaanmu di sana…